SEJARAH KALIMANTAN TIMUR
Sebelum masuknya suku-suku dari Sarawak dan suku-suku pendatang dari luar pulau, wilayah ini sangat jarang penduduknya. Sebelum kedatangan Belanda terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur, diantaranya adalah Kerajaan Kutai (beragama Hindu), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir dan Kesultanan Bulungan.
Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kalimantan Timur (Pasir, Kutai, Berau, Karasikan) merupakan sebagian dari wilayah taklukan Kesultanan Banjar, bahkan sejak jaman Hindu. Dalam Hikayat Banjar menyebutkan bahwa pada paruh pertama abad ke-17 Sultan Makassar meminjam tanah sebagai tempat berdagang meliputi wilayah timur dan tenggara Kalimantan kepada Sultan Mustain Billah dari Banjar pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang, yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654 yang akan menjadikan wilayah Kalimantan Timur sebagai tempat berdagang bagi Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo), dengan demikian mulai berdatanganlah etnis asal Sulawesi Selatan. Sejak 13 Agustus 1787, Sultan Tahmidullah II dari Banjar menyerahkan Kalimantan Timur mejadi milik perusahaan VOC Belanda dan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa menjadi daerah protektorat VOC Belanda.
Sesuai traktat 1 Januari 1817, Sultan Sulaiman dari Banjar menyerahkan Kalimantan Timur, Kalimatan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada Hindia-Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1846, Belanda mulai menempatkan Asisten Residen di Samarinda untuk wilayah Borneo Timur (sekarang provinsi Kalimantan Timur dan bagian timur Kalimantan Selatan) bernama H. Von Dewall. Provinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan administrasi, juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 dengan gubernurnya yang pertama adalah APT Pranoto.
Sebelumnya Kalimantan Timur merupakan salah satu karesidenan dari Provinsi Kalimantan. Sesuai dengan aspirasi rakyat, sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.
Peninggalan Sejarah dari Provinsi Kaltim adalah :
Gedung BPM (Sekarang PT. Medco)
Bangunan Kantor PT. Medco yang sekarang terdapat di kota Sanga-Sanga merupakan bangunan dari perusahaan sebelumnya. Bangunan ini masih terlihat kokoh, ruang-ruang perkantorannya dibangun bersekat-sekat dan tinggi sehingga sirkulasi udaranya cukup memadai.
Bangunan yang menjadi perkantoran berbentuk U , luasnya 100 x 150 m persegi dan dilengkapi dengan serambi kanan dan kiri serta selasar bangunannya cukup luas. Serambi ini sering, dipergunakan sebagai tempat sembahyang bagi yang beragarna Kristen, Serambi kanan tempat bagi yang Protestan sedangkan serambi kiri bagi kaum Katholik. Komunitas pemeluk agama kristen ini lebih banyak, karena para pekerja banyak terdiri dari orang asing.
Meskipun bangunan ini sudah beberapa kali dipakai oleh sahaan sebagai tempat aktifitas perkantoran, namun kondisinya bangunannya masih terlihat bagus. Adapun nama perusahaan yang silih berganti tersebut adalah :
1. Periode 1897 – 1905 oleh NIIHM (Nederlarnds Indische Industrie En Handel Maatschappij). Pada periode ini pengelolaan pertambangan masih tahap awal dan manajemennya belum baik. Pada saat ini, kerajaan Kutai tidak bisa membantu penuh karena masih berhadapan dengan masalah intern kerajaan yang belum selesai. Penggunaan teknologi dan peralatan kerja masih sangat sederhana, salah satu di antaranya penggunaan alat angguk dan roda yang terbuat dari kayu ulin.
2.Periode 1905 –1942 oleh BPM (Batavia Petroleum Maatschappij). Pada masa ini fasilitas-fasilitas umum mulai dibangun seperti bangsal, pasar dan sekolah. Selain itu, pengolahan minyak mentah menjadi minyak siap pakai, seperti oli, bensin dan minyak tanah telah dilakukan karena sangat diperlukan dalam menyuplai bahan bakar tenaga listrik yang berlokasi di Kelurahan Sari Jaya. Selain itu, bahan bakar juga dibutuhkan untuk mengoperasionalkan mesin air yang berada di pinggir sungai sanga-sanga agar bisa naik ke atas bukit untuk diolah sebagai air bersih untuk keperluan perusahaan.
3.Periode 1942-1945 oleh Jepang. Penguasaan Jepang tidak berlangsung lama. Meskipun demikian, mereka sempat membangun fasilitas pengeboran dan menambah sumur-sumur minyak guna kepentingannya dalam menghadapi perang dengan sekutu. Pembangunan barak atau bangsal untuk menampung para pekerja romusha dan ianfu dan tentaranya juga didirikan.
4.Periode 1945 – 1972 oleh BPM/SHELL atau Pertamina. Pada masa ini Belanda yang mengambil alih perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan Shell serta Perusahaan Minyak Nasional (PERMINA) dan pada masa ini terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan peranannya semakiin meningkat. Pada masa ini merupakan masa keemasan bagi Kota Sanga-sanga.,
Periode 1972- 1992 oleh TIPCO – Tesorro (perusahaan Amerika Serikat). Pada masa ini terjadi perubahan pola orientasi kerjasama ekonomi, yang semula dikelola oleh pertusahaan asing Belanda, Inggris beralih ke pasaran Amerika Serikat (Tesoro). Peningkatan pengeboran minyak semakin maju dan cenderung tidak terkontrol.
6.Periode 1992 – 2008 oleh PT Medco E & P. Pada masa ini kepemilikan dan hak eksplorasi dilakukan, dengan sistim mekanisme pasar, yaitu dengan memberlakukan sistim tender dan keikutsertaan bangsa asing dibatasi. Pada saat ini fasilitas produksi, alat eksplorasi dan perumahan tidak dipergunakan secara memadai karena pemakaian tenaga kerja yang semakin berkurang. Keberadaan perumahan BPM dan bangsal sudah tidak terkordinir lagi sehingga rusak.
sumber : http://www.kaltimprov.go.id/profil-1-sejarah-kaltim.html